REFLEKSI MINGGU (3 Mei 2020)

Minggu, 03 Mei 2020, 06:15:55 WIB

“Transformasi kematian menjadi kehidupan, kebencian menjadi cinta dan keputusasaan menjadi pengharapan”

Yohanes 20: 24 – 29

Pdt. Jackvelyn Frits Manuputty, S.Th., S.Fil., M.A.

(Sekretaris Umum PGI)

 

Saudara-saudara yang Kristus kasihi, kita masih berada dalam suasana Paskah merayakan kebangkitan Kristus dan saya ingin mengajak kita melihat sebuah kisah sekitar kebangkitan Yesus yang ditulis dalam Injil Yohanes 20: 24 - 29. Yesus menampakkan diri kepada Tomas, (ay.24) Tetapi Tomas, seorang dari kedua belas murid itu, yang disebut Didimus, tidak ada bersama-sama mereka, ketika Yesus datang ke situ. (ay.25) Maka kata murid-murid yang lain itu kepadanya: "Kami telah melihat Tuhan!" Tetapi Tomas berkata kepada mereka: "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya." (ay.26) Delapan hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu dan Tomas bersama-sama dengan mereka. Sementara pintu-pintu terkunci, Yesus datang dan Ia berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: "Damai sejahtera bagi kamu!" (ay.27) Kemudian Ia berkata kepada Tomas: "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah." (ay.28) Tomas menjawab Dia: "Ya Tuhanku dan Allahku!" (ay.29) Kata Yesus kepadanya: "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." 

Saudara-saudara dalam Kristus, pemirsa mimbar Ditjen Bimas Kristen, selama ini setiap kita mendengar murid Yesus yang bernama Tomas  selalu kita mengasosiasikannya dengan ketidakpercayaan, Tomas  yang peragu, Tomas  yang tidak percaya. Karakter Tomas bahkan kita pakai untuk menegur saudara seiman kita bilamana mereka kurang percaya atau ragu-ragu, “Hei jangan jadi seperti Tomas, kamu selalu ragu-ragu dan tidak percaya,” begitu kita bilang.

Saudaraku tentu tidak salah, karena Yohanes dalam bagian ini memotret Tomas dalam kisah ini sebagai murid Yesus yang tidak percaya kepada fakta kebangkitan Tuhan Yesus Kristus, “sebelum aku melihat bekas paku pada tanganNya, sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan memasukkan tanganku ke dalam lambungNya sekali-kali aku tidak percaya,” Itu kata Tomas.  Tomas memang malang karena ucapannya itu maka sepanjang sejarah ia dicap sebagai murid Yesus yang peragu dan tidak percaya jika dibandingkan dengan murid-murid lainnya.

Saudara dalam Kristus, sepintas memang benar tapi sesungguhnya pandangan itu keliru. Peristiwa di sekitar kebangkitan Yesus adalah peristiwa tentang keraguan, ketidak percayaan dan kelemahan yang dimiliki semua murid. Sejak awal para perempuan yang datang ke kubur Yesus telah mengalaminya. Mereka tidak percaya bahwa Yesus telah bangkit, mereka pulang dan menyampaikan kepada murid-murid yang lainnya dan mereka dituduh mengigau. Pernyataan Tomas adalah cerminan dari situasi batin para murid. Jadi keraguan bukanlah karakter spesifik yang harus ditaruh hanya pada Tomas. Karenanya saya lebih tertarik untuk melihat bukan pada relasi Tomas dengan ketakutannya, tetapi pada hubungan Tomas dengan luka-luka Yesus atau bekas luka Yesus, luka-luka yang olehnya Tomas mendeklarasikan pengakuan yang belum pernah diucapkan secara terbuka oleh para muridnya atau para murid yang lain, “Ya Tuhanku, Ya Allah ku.” Dua alasan yang membuat saya tertarik melihat relasi Tomas dengan luka-luka Yesus, yang pertama karena cerita Tomas ini menyoroti sesuatu yang penting. Luka Yesus atau tepatnya bekas luka Yesus tetap ada bahkan setelah kebangkitan Yesus. Hal ini penting bagi kita untuk selalu mengingat bahwa ingatan-ingatan mengenai kebangkitan Yesus atau juga yang dikatakan Memoria Resurrection tidak bisa dipisahkan dari ingatan-ingatan tentang penderitaan Yesus, atau memoria passionis. Dengan memperlihatkan bekas lukanya pada Tomas, diperoleh penegasan bahwa kematian telah ditransformasikan menjadi kehidupan, kebencian telah ditransformasikan menjadi cinta dan keputusasaan telah ditransformasikan menjadi pengharapan. Inilah makna sapaan dari Yesus Kristus kepada murid-muridnya dan kepada kita saat ini, saat Dia menjumpai mereka, “Damai sejahtera bagi kamu” atau “Shalom.” Ungkapan damai sejahtera lahir dari Yesus yang pernah terluka. Hal ini mengingatkan saya pada refleksi Henri Nouwen dalam buku yang ditulisnya dengan judul “Yang Terluka yang Menyembuhkan.” Buku ini juga sempat menjadi bacaan reflektif seorang sahabat saya yang juga pendeta terpapar covid-19 ketika ia sembuh. Awal pendeta ini membagi kesaksian yang luar biasa tentang proses penyembuhannya untuk menguatkan banyak orang yang masih terpapar covid-19 dan yang sementara berjuang untuk penyembuhan mereka. Ia terluka, ia sakit tapi ia bertarung untuk kesembuhannya dan menginspirasi sahabat-sahabat lain untuk sembuh. The wounded healer, yang terluka yang menyembuhkan, hanya mungkin ketika kita mampu merefleksikan pengalaman-pengalaman kesembuhan kita dalam relasi yang utuh dengan pengalaman-pengalaman saat kita sakit dan menderita.

Saudara-saudara kekasih Kristus, alasan kedua yang membuat relasi Tomas dan luka Yesus menjadi menarik karena luka yang mulia dari Yesus ini dapat membantu kita untuk melihat bahwa sekalipun terluka, kita tetap dapat menjadi sumber harapan untuk masa kini dan masa depan. Saudara, banyak orang yang masih menggeluti luka-lukanya, tidak saja luka fisik tapi juga luka batin. Mereka bergelut bertahun-tahun dan terbenam didalamnya dengan rasa frustasi dan putus asa. Meskipun demikian banyak juga orang mampu bangkit menyembuhkan dirinya dan memberi pengharapan bagi orang lain. Mereka mampu menjadi penyintas dan mereka bersaksi bagi banyak orang dan tidak semata-mata membenamkan dirinya didalam perspektif sebagai korban yang harus dikasihani. Saat ini kita menghidupi dunia yang terluka. Mengemukanya wabah korona atau pandemi korona, meninggalkan banyak sekali luka dan duka. Saya bisa membayangkan saudara, rasa sendiri para pasien di ruang-ruang isolasi, saya bisa merasakan kehilangan terhadap orang-orang yang dikasihi karena direnggut covid- 19, saya bisa menyelami perasaan rekan-rekan dan keluarga para tenaga medis yang sudah berjuang keras memberi diri mereka untuk melayani penderita covid-19, tapi akhirnya mereka turut terpapar dan jiwanya tidak tertolong. Semuanya menggantungkan awan kedukaan, yang semoga cepat berlalu dari negeri kita. Sekalipun demikian, kita juga menghidupi luka-luka karena konflik, ketidakadilan, kerusakan lingkungan, bahkan luka-luka yang kita bawa yang kita pelihara dari dan di tengah keluarga kita. Luka-luka yang mungkin terus akan menumbuh dan terjadi, walau covid-19 telah berlalu. Dunia yang kita hidup yang butuh penyembuhan terus menerus. Luka-luka Yesus yang bangkit menginspirasi kita untuk menjadi the wounded healer, yang terluka yang menyembuhkan di tengah dunia yang diwarnai memoria passionis. Kenangan-kenangan tentang penderitaan, kita diajak untuk mentransformasikannya ke dalam memoria resurrection, kenangan-kenangan tentang kebangkitan yang dipenuhi dengan cinta, kepedulian dan solidaritas yang menghidupkan dan menyelamatkan. 

Saudaraku yang dikasihi Yesus Kristus, Yesus mengundang Tomas untuk meletakkan jari-jarinya pada bekas-bekas luka di tangan Yesus dan lambungnya. Undangan Agung ini juga undangan bagi gereja, bagi kita saat ini, meskipun dengan memenuhi undangan itu, luka anda dan luka saya tidak akan hilang. Namun luka-luka itu tidak akan menyakiti kita dan menghempaskan kita pada epidemic keputusasaan. Luka itu tidak harus membuat kita patah semangat, sebaliknya luka-luka itu bisa menjadi sumber cahaya dan pengharapan dengan memperlihatkan bekas luka-luka Yesus. Tomas dan para murid lainnya menemukan kedamaian dan sukacita yang besar dalam melihat Yesus, yang bangkit dan olehNya Tomas mampu mendeklarasikan imannya dengan mengatakan “ya Tuhanku, ya Allahku.” Itu meyakinkan meskipun kita terus dikepung oleh situasi wabah atau pandemi. Kita bisa tenang, kita bisa bersuka cita, kita bisa tetap bersaksi.

Saudara kekasih Kristus, Allah didalam Kristus mencintai dunia ini, Allah mencintai saudara, Allah didalam Kristus memberi dirinya untuk menjadi memoria passionis sebelum mentransformasikannya ke dalam memoria resurrection. Kenangan-kenangan tentang penderitaan, rasa sakit ditransformasikan menjadi kenangan tentang kemenangan dan kebangkitan. Terimalah undangan Yesus untuk meletakkan tanganmu pada bekas-bekas luka di tubuh Kristus. Maka cintaNya yang Agung akan mentransformasikan saudara untuk mengalami penyembuhan dan kepenuhan. Shalom, Tuhan memberkati saudara-saudara. 

Video Mimbar Kristen Ditjen Bimas Kristen Edisi Minggu, 3 Mei 2020

 

Berita Terkait