Menag Nasaruddin Umar “Keberhasilan Bimas Kristen Diukur dari Kedekatan Umat dengan Agamanya”

Jumat, 21 Maret 2025, 11:10:07 WIB

Jakarta (DBK)—Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa keberhasilan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen bukan sekadar soal pencapaian administratif atau penghargaan, tetapi lebih pada sejauh mana umat semakin dekat dengan ajaran agamanya. Pesan ini disampaikannya dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Bimas Kristen dalam agenda “Temu Sapa Menteri Agama RI dengan Pimpinan Interdenominasi Gereja dan Lembaga Pendidikan Kristen”, yang digelar di Jakarta, Jumat (21/3).

Dalam sambutannya, Menag mengapresiasi momen istimewa dalam acara tersebut, ketika doa dipimpin oleh seorang insinyur pertanian sekaligus pendeta. Menurutnya, ini menunjukkan bahwa panggilan Tuhan tidak terbatas hanya pada para teolog, tetapi juga bagi mereka yang berkiprah di berbagai bidang.

“Selama ini, kita terbiasa melihat doa dipimpin oleh ahli teologi. Namun, dalam banyak literatur—termasuk yang saya baca dari Max Weber—panggilan Tuhan bisa datang kepada siapa saja, tidak terbatas pada satu profesi tertentu. Bahkan, bisa jadi seorang ilmuwan memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang kebesaran Tuhan dibandingkan kita, para teolog,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Menag mengutip ayat dalam Islam yang menegaskan bahwa orang-orang yang benar-benar takut kepada Tuhan adalah para ulama. Ia menyoroti bahwa konteks ayat tersebut justru berkaitan dengan ilmu alam seperti pertanian, astronomi, kimia, fisika, dan biologi. Hal ini, menurutnya, menegaskan bahwa pemahaman akan kebesaran Tuhan bisa datang dari berbagai disiplin ilmu.

Dalam forum yang dihadiri oleh pimpinan wilayah dan peserta dari berbagai daerah, Menag menekankan bahwa peran utama Kementerian Agama adalah mendekatkan umat kepada ajaran agama mereka.

“Jika umat semakin jauh dari ajaran agama, maka Kementerian Agama telah gagal. Namun, jika umat semakin akrab dengan nilai-nilai agamanya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, itulah keberhasilan yang sejati,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya menanamkan nilai-nilai moderasi beragama, agar masyarakat tidak terjebak dalam ekstremisme atau liberalisme berlebihan. Pendidikan agama harus mampu menciptakan masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran agamanya dengan tetap menjaga keseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Seorang Kristen bisa menjadi Kristen 100% dan tetap menjadi orang Indonesia 100%. Tidak perlu ada pertentangan antara agama dan kebangsaan. Kita harus menjadi umat beragama yang baik sekaligus warga negara yang baik,” ujarnya.

Menurut Menag, toleransi sejati bukan hanya sekadar sikap saling menghormati, tetapi harus ada ikatan emosional dan solidaritas nyata antarumat beragama.

“Toleransi itu bukan hanya ‘yang penting tidak saling mengganggu’. Itu baru tahap awal. Yang kita harapkan adalah toleransi sejati, di mana kita saling mencintai dan merasa memiliki satu sama lain,” katanya.

Ia juga mengajak masyarakat untuk memperluas makna kerukunan, tidak hanya antarumat beragama, tetapi juga antara manusia dengan lingkungan dan Tuhan. Kerusakan alam, menurutnya, juga merupakan bentuk ketidakseimbangan yang harus diperbaiki.

“Dalam banyak ajaran agama, alam semesta dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia. Dalam Hindu dan tasawuf Islam, bumi disebut sebagai ibu dan langit sebagai ayah. Ini menunjukkan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari spiritualitas,” jelasnya.

Menag menyoroti pentingnya revisi kurikulum pendidikan agama agar lebih menekankan pada moderasi beragama. Pendidikan agama, katanya, harus lebih banyak mengajarkan kesamaan dibandingkan perbedaan.

“Jangan sampai anak-anak kita sejak dini didoktrin untuk melihat perbedaan sebagai sumber konflik. Sebaliknya, ajarkan mereka untuk menemukan kesamaan sebagai dasar toleransi yang sejati,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa guru agama harus berperan sebagai pembentuk karakter yang kuat, bukan sebagai penyebar kebencian.

Menag juga menambahkan sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan: “Matahari tidak menyinari dirinya sendiri, sungai tidak mengaliri dirinya sendiri. Segala sesuatu di alam semesta ini hadir untuk memberi manfaat bagi yang lain. Begitu pula kita sebagai manusia, seharusnya keberadaan kita membawa manfaat bagi sesama.”

“Jika kita bisa mencapai itu, maka kita telah membawa agama ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih bermakna dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” pungkasnya.

Berita Terkait